Sabtu, 06 Maret 2010

HUBUNGAN FUNGSIONAL TUJUAN PENDIDIKAN, SISTEM KURIKULUM, PROSES PEMBELAJARAN DAN SISTEM EVALUASI


I. LATAR BELAKANG

Tujuan pendidikan Nasional secara jelas tertera dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam regulasi tersebut tertulis bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Hampir tidak ada orang yang menolak bahwa diselenggarakannya suatu sistem pendidikan adalah dengan tujuan utama untuk memenuhi tujuan pendidikan dengan menghasilkan manusia terdidik yang dewasa secara intelektual, moral, berkepribadian dan berkemampuan. Namun yang sering disoroti adalah dimensi penguasaan pengetahuan peserta didik yang belum tentu berdampak kepada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, kematangan moral dan karakter.[1]

Ketercapaian setiap tujuan pendidikan yang disampaikan melalui berbagai bentuk dan Undang-undang pada dasarnya tidak mungkin dilakukan tanpa suatu proses yang terencana, terprogram, dan terlaksana dengan efisien, efektif, dan relevan. Tetapi pada umumnya tujuan pendidikan yang demikian ideal selama ini tidak pernah dengan sungguh-sungguh diterjemahkan secara operasional dan diupayakan ketercapaiannya.[2] Bahkan banyak sementara orang (termasuk para pejabat atau pakar) yang memandang hal tersebut tidak mungkin dapat dicapai oleh sekolah. Dalam pengertian kalau penyelenggaraan pendidikan di sekolah dengan kondisi seperti yang berlangsung sampai dengan hari ini, dengan rendahnya kesungguhan dan kemampuan guru, terbatasnya bahkan tanpa fasilitas serta sarana dan prasarana yang diperlukan, waktu yang terbatas, model pembelajaran yang tidak lebih dari mendengar, mencatat dan menghafal, evaluasi yang hanya mengukur kemampuan mengingat apa yang telah dipelajari, keterbatasan buku bacaan baik untuk guru dan murid. Kalau tetap demikian memang segala tujuan itu tidak akan dapat dicapai, sehingga sesungguhnya tidak perlu kita mengubah kurikulum bahkan tidak perlu mengubah UU Sisdiknas, karena semuanya tidak dengan sendirinya dapat meningkatkan mutu pendidikan.

Kenyataan ini mengandung pengertian bahwa sesungguhnya mutu pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja, namun banyak faktor lain yang juga merupakan penentu diantaranya adalah keberadaan pengelola sekolah (kepala sekolah, karyawan dan komite sekolah dan dewan pendidikan), lingkungan (orangtua, masyarakat dan sekolah), kualitas pembelajaran, kurikulum, sistem evaluasi dan sebagainya. Mengkritisi hal tersebut Mardapi[3] menjelaskan bahwa usaha peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem penilaian. Keduanya merupakan hal yang saling terkait, sistem pembelajaran yang baik akan menghasilkan kualitas belajar yang baik. Selanjutnya sistem penilaian yang baik akan mendorong guru untuk menentukan strategi mengajar yang baik dan memotivasi siswa untuk belajar yang lebih baik.

Dengan demikian salah satu faktor yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan adalah proses pembelajaran yang dilakukan, sedangkan salah satu faktor penting untuk efektivitas pembelajaran adalah faktor evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pembelajaran. Evaluasi dapat mendorong siswa untuk lebih giat belajar secara terus menerus dan juga mendorong guru untuk lebih meningkatkan kualitas proses pembelajaran serta mendorong untuk lebih meningkatkan fasilitas dan kualitas manajemen sekolah.

Implikasi logis dari keadaan tersebut adalah bahwa dalam pembelajaran dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu mengajar dengan baik tetapi juga mampu melakukan evaluasi dengan baik. Kegiatan evaluasi sebagai bagian dari program pembelajaran perlu lebih dioptimalkan. Evaluasi tidak hanya bertumpu pada penilaian hasil belajar, tetapi juga perlu penilaian terhadap input, output maupun kualitas proses pembelajaran itu sendiri. Optimalisasi sistem evaluasi ini memiliki dua makna, yang pertama, adalah sistem evaluasi yang memberikan informasi yang optimal. Kedua adalah manfaat yang dicapai dari evaluasi. Manfaat yang utama dari evaluasi adalah meningkatkan kualitas pebelajaran dan selanjutnya akan terjadi peningkatan kualitas pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai.

II. FOKUS MASALAH

Bagaimana keterkaitan fungsional antara tujuan pendidikan, sistem kurikulum, proses pembelajaran dan sistem evaluasi dalam kegiatan belajar mengajar?

III. PEMBAHASAN

A. Tujuan Pendidikan

Dalam pendidikan ikatan antara tanggung jawab dan proses pembelajaran serta hasil menjadi kesatuan utuh yang saling melengkapi. Mendidik adalah kegiatan memberi pengajaran, membuat seorang memahami dan dengan pemahaman yang dimiliki peserta didik dapat mengembangkan potensi diri dengan menerapkan apa yang dipelajari.[4] Proses itu dapat berlangsung seumur hidup dan pencapaian tujuan pendidikan tidak akan berhenti saat kehidupan seseorang berakhir. Dalam kurikulum terbaru yang dirilis pemerintah saat ini (KTSP-Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), sekolah menjadi penyelenggara pendidikan yang berhak menentukan sendiri indikator bagi setiap kompetensi dasar dari semua mata pelajaran. Masalahnya, apakah hak itu digunakan untuk menentukan desain yang tepat dan selaras dengan tujuan pendidikan? Penyesuaian indikator yang akan dipergunakan untuk mengukur tingkat kompetensi anak tidak dapat terpisah dari tujuan pendidikan yang ada.

Tujuan pendidikan akan menentukan ke arah mana anak didik akan dibawa. Disamping itu pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesa.[5] Pada dasarnya tujuan pendidikan secara umum dapat dipandang dari dimensi umum (Nasional) dan khusus. Tujuan pendidikan dalam dimensi khusus merupakan turunan dari tujuan pendidikan umum, yaitu:

1. Tujuan pendidikan secara umum

a. TAP MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang dalam UUD 1945.

b. Menurut UU No. 2 Tahun 1985 “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada TYME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa”.

c. Menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 “Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap TYME, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, sikap menghargai jasa pahlawan, serta berorientasi masa depan”.

d. UU 20/2003 tentang Sisdiknas, Pasal 3, dijelaskan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TYME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

2. Tujuan pendidikan secara khusus

Tujuan pendidikan secara khusus merupakan hasil breakdown dari tujuan pendidikan umum, dimana dalam hal ini dapat dipilah menjadi tujuan pendidikan yang menyangkut tujuan institusional, kurikuler dan kemudian di jabarkan lagi menjadi tujuan instruksional. Tujuan instruksional itu sendiri dapat dipilah lagi menjadi dua bagian yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus, yang indikator pencapaiannya dilakukan melalui hasil evaluasi yang dilakukan setelah proses pembelajaran dilakukan.

BAGAN HIERARKI TUJUAN PENDIDIKAN



Pada dasarnya Tujuan Pendidikan Nasional kiranya merupakan rumusan dan konsep yang akan sangat berpengaruh pada implementasi, dinamika, arah, dan pelaksanaan pendidikan. Muaranya adalah mutu atau kualitas hasil pendidikan nasional. Karena itu, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk bisa bertahan hidup (survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya.

Kalau dikaji secara mendalam tujuan pendidikan yang selama ini dirumuskan, dalam berbagai UU pendidikan nasional kita, akan menemukan betapa pendidikan nasional diharapkan untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang (1) religius dan bermoral; (2) yang menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan; (3) yang sehat jasmani dan rohani dan (4) yang berkepribadian dan bertanggung jawab.[6]

Keempat karakteristik manusia yang dirumuskan dalam berbagai Undang-Undang tersebut pada hakekatnya merupakan karakteristik yang bersifat universal, yang masih perlu diterjemahkan kedalam rumusan yang operasional dan terkait dengan perkembangan masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat internasional pada umumnya. Wujud nyata dari setiap karakteristik tersebut akan berbeda dalam suatu tingkat perkembangan masyarakat dan tingkat pendidikan. Karena itu dalam menterjemahkan keempat karakteristik tersebut ke dalam rumusan wujud kemampuan, nilai, dan sikap yang dapat dijadikan rujukan dalam proses perencanaan kurikulum perlu dipahami tingkat dan arah perkembangan masyarakat Indonesia.

B. Sistem Kurikulum

1. Pengertian Kurikulum

Dalam banyak literatur, kurikulum didefinisikan dalam dua pemahaman yaitu dari sisi dokumen dan teknis. Sebagai dokumen, kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar.[7] Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis, yang berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik dan kualitas proses pendidikan.

Pemahaman kurikulum secara teknis berlaku ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkannya sebagai "clouded and myopic".[8]

Selanjutnya Doll memperkuat pendapatnya tentang kurikulum dengan mengatakan: Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange concept-for example, children following the pattern of their parents, IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where-trough focusing-knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our teaching-learning process. Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu fokus pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik tentang apa yang sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa datang tetapi harus mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua mereka. Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja terutama untuk intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu.

Pendapat resmi negara tentang kurikulum tertuang dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 (19) yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu".[9]

Dari pemahaman di atas maka dapat disimpulkan bahwa sistem kurikulum pada dasarnya adalah seperangkat rancangan tertulis yang digunakan sebagai acuan (pedoman) dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu dalam upaya peningkatan kualitas. Penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dapat berupa peningkatan pengalaman belajar dalam upaya mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu dan mempersiapkan peserta didik untuk pekerjaan tertentu. Kegiatan ini didasarkan pada seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan.

Dengan demikian maka pendidikan harus aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasuki dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima=pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.

2. Mengenal Kurikulum Indonesia

Sejak Indonesia merdeka, kurikulum yang ada di Indonesia telah mengalami perubahan beberapa kali. Perubahan yang terjadi dimaksudkan untuk membuat sistem pendidikan di Indonesia semakin membaik, namun apakah sistem pendidikan di Indonesia saat ini telah sesuai dengan tujuan pendidikan?. Sistem kurikulum yang pernah ada di Indonesia yaitu:

a. Kurikulum 1947. Berlaku sejak tahun 1947, dengan nama Rentjana Pelajaran 1947, masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Dapat dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan lebih berfungsi sebagai development conformism menekankan pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka, berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain.

b. Kurikulum 1952. Merupakan penyempurnaan kurikulum 1947 diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952 dan sudah mengarah pada sistem pendidikan nasional. Hal yang menonjol dan sekaligus ciri kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

c. Kurikulum 1964. Diberi nama Rentjana Pendidikan 1964 dengan pokok pikiran bahwa pemerintah ingin agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional (artistik), keprigelan, dan jasmani.[10]

d. Kurikulum 1968. Merupakan perubahan struktur kurikulum dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar dan kecakapan khusus, dan sekaligus merupakan perwujudan perubahan orientasi pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tujuan utamanya adalah pendidikan ditekankan pada upaya membentuk manusia Pancasila sejati, kuat dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.

e. Kurikulum 1975. Pengganti kurikulum 1968 yang menggunakan pendekatan (1) berorientasi pada tujuan; (2) integrative artinya setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif; (3) menekankan efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu; (4) menganut pendekatan sistem instruksional yaitu Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), sistem yang mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa dan (5) dipengaruhi psikologi tingkah laku yang menekankan kepada stimulus respon dan latihan (drill).[11]

f. Kurikulum 1984. Merupakan perbaikan kurikulum 1975 dengan ciri-ciri:

· Berorientasi kepada tujuan instruksional.

· Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.[12]

· Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.

· Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian digunakan media/ alat peraga untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.

· Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Materi disajikan melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh ke kesimpulan, mudah ke yang sukar dan sederhana ke yang kompleks.

· Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajar mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya.[13] Pendekatan ini harus diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.

g. Kurikulum 1994. Penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan UU No. 2 tahun 1989 tentang SPN yang berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, dengan mengubah sistem semester ke caturwulan. Dengan perubahan ini diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.[14]

Ciri kurikulum 1994, adalah (1) menggunakan sistem cawu; (2) lebih menekankan materi pelajaran yang padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi); (3) bersifat populis, yaitu memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua di seluruh Indonesia.; (4) dalam pelaksanaannya, guru menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar secara mental, fisik dan sosial dengan memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan; (5) dalam pengajaran, materi disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa; (6) pengajaran dari konkrit ke abstrak, mudah ke sulit, dan sederhana ke komplek dan (7) pengulangan materi yang dianggap sulit.

Selama dilaksanakannya kurikulum ini muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented).[15]

· Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran

· Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.

h. KBK–Versi Tahun 2002 dan 2004. Dunia pendidikan merespon perubahan struktural dalam pemerintahan (sentralistik ke desentralistik) sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dengan mengadakan perubahan kurikulum. Kurikukum dimaksud adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies.[16] Artinya, pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya perlu dikembangkan KBK sebagai pedoman pembelajaran.

KBK merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. KBK berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada siswa melalui pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya.[17] Ciri kurikulum ini (1) menekankan ketercapaian kompetensi secara individual dan klasikal; (2) berorientasi pada learning outcomes dan keberagaman; (3) menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi dalam pembelajaran; (4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif dan (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.[18]

i. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Secara substansial, KTSP lebih kepada implementasi regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Namun, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran masih bercirikan tercapainya paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter). Kurikulum ini memiliki ciri yang relatif sama dengan KBK. Perbedaannya hanya terletak pada kewenangan sekolah. Sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi, misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.

Jadi pada hematnya dunia pendidikan Bangsa Indonesia sejak tahun 1947 hingga saat ini sudah mengalami pergantian kurikulum sebanyak 9 (sembilan) kali, dari Rentjana Pelajaran 1947 sampai kurikulum yang dipergunakan saat ini yaitu KTSP. Namun bila dilihat kondisi pendidikan Indonesia secara menyeluruh dalam konteks kualitas, dapat dikatakan bahwa pergantian sistem kurikulum yang dilakukan belum menunjukkan kemampuan dalam menjawab tantangan tujuan pendidikan secara kaffah. Asumsi ini juga didasarkan pada proses pendidikan yang berlangsung selama ini yang hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi materi pelajaran. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi yang dilakukan pun kerap diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.

3. Sosok Kurikulum Indonesia Saat ini

Membentuk manusia yang good and smart adalah filosofi dasar pendidikan menurut Socrates pada 2400 tahun yang lalu.[19] Berbicara tentang pendidikan tidak akan terlepas dari kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di sekolah. Kegiatan belajar mengajar tidak dapat terlepas dari kurikulum yang sedang berlaku, karena kurikulum merupakan salah satu hal yang cukup vital bagi dunia pendidikan dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan.

Kurikulum mencakup fokus program, media instruksi, organisasi materi, strategi pembelajaran, manajemen kelas dan peranan pengajar.[20] Di Indonesia sekarang sedang dikembangkan KTSP yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Kompetensi dimaksud merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang dimiliki oleh peserta didik yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kompetensi dapat diketahui melalui sejumlah hasil belajar dengan indikator tertentu. Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual.

Cara mencapai kompetensi yang dibakukan disesuaikan dengan keadaan daerah dan atau sekolah. Berkaitan dengan hal ini dalam pelaksanaan kurikulum dikenal istilah diversifikasi kurikulum, maksudnya adalah bahwa kurikulum dikembangkan dengan menggunakan prinsip perbedaan kondisi dan potensi daerah, termasuk perbedaan individu peserta didik.

Pengembangan kurikulum yang dilakukan harus berkaitan dengan tuntutan standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar dan aktivitas untuk mengembangkan dan menguasai kompetensi seefektif mungkin. Proses ini mengembangkan asumsi bahwa peserta didik yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu. oleh karenanya pengembangan kurikulum perlu memperhatikan beberapa prinsip yaitu (1) berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented); (2) berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar; (3) bertolak dari Kompetensi tamatan/lulusan; (4) memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum yang berdiferensiasi dan (5) mengembangkan aspek belajar secara utuh dan menyeluruh (holistik), serta menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning).[21]

Uraian di atas membawa kita pada pemahaman bahwa sistem kurikulum yang selam ini diterapkan di Indonesia belum dapat membawa peningkatan kualitas pendidikan Indonesia secara signifikan. Salah satu hal yang menyebabkan keadaan ini adalah padatnya “misi” yang diemban oleh kurikulum terkait dengan sempurnanya tujuan pendidikan yang hendak dicapai, sehingga seolah-olah kurikulum menjadi kunci dari segala kegiatan yang dilakukan, implikasinya kurikulum terus menerus mengalami perubahan mulai dari ‘kurikulum yang berbasis topik” hingga yang “berbasis kompetensi”. Namun pada hematnya kunci keberhasilan pendidikan bukan pada perubahan kurikulum, melainkan pada implementasinya. Dari kompleksnya permasalahann yang ada dapat kita asumsikan bahwa kurikulum yang ada tidak pernah diimplementasikan sepenuh hati dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang ideal dalam konteks pembaruan pendidikan.

C. Proses Pembelajaran

Proses pendidikan dewasa ini sering diidentikkan dengan proses pembelajaran yang merupakan sebuah upaya bersama antara guru dan siswa untuk berbagi dan mengolah informasi dengan tujuan agar pengetahuan yang terbentuk ter-internalisasi dalam diri peserta pembelajaran dan menjadi landasan belajar secara mandiri dan berkelanjutan. Maka kriteria keberhasilan sebuah proses pembelajaran adalah munculnya kemampuan belajar berkelanjutan secara mandiri. Proses pembelajaran yang baik, pada umumnya harus melibatkan tiga aspek, yaitu: aspek psikomotorik, kognitif dan afektif.

Aspek psikomotorik dapat difasilitasi lewat adanya praktikum dengan tujuan terbentuknya ketrampilan eksperimental. Aspek kognitif difasilitas lewat berbagai aktifitas penalaran dengan tujuan adalah terbentuknya penguasaan intelektual. Sedangkan aspek afektif dilakukan lewat aktifitas pengenalan dan kepekaan lingkungan dengan tujuan terbentuknya kematangan emosional. Ketiga aspek tersebut bila dapat dijalankan dengan baik akan membentuk kemampuan berfikir kritis dan munculnya kreatifitas. Dua kemampuan inilah yang mendasari skill problem solving yang diharapkan wujud pada diri mahasiswa.

Pembelajaran sering disebut dengan istilah belajar mengajar, merupakan terjemahan dari kata “instructional” yang terdiri dari kata belajar dan mengajar. Belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Woolfolk & Nicolich mengatakan bahwa “Learning is a change in a person that comes about as a result of experince”.[22] Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, kecakapan dan pengetahuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek yang ada pada individu.[23] Lebih lanjut Gagne manjelaskan bahwa sesungguhnya belajar terdiri dari tiga komponen penting yaitu kondisi internal (internal conditions of learning), kondisi eksternal (external conditions of learning) dan hasil belajar (outcomes of learning).[24] Hubungan hierarkhis ketiga komponen tersebut dilukiskan pada bagan di bawah.

BAGAN HUBUNGAN KONDISI BELAJAR DENGAN HASIL BELAJAR



Sumber: Gredeer & Margaret (1986).

Seperti halnya belajar, mengajarpun pada hakekatnya adalah suatu proses, yaitu proses mengatur, mengorganisir lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan kegiatan belajar. Di lain pihak mengajar juga merupakan suatu proses mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan kegiatan belajar.[25]

Dari pengertian tersebut sesungguhnya dalam proses pembelajaran terdapat dua kegiatan yang terjadi dalam satu kesatuan waktu dengan pelaku yang berbeda. Pelaku belajar adalah siswa sedangkan pelaku pengajar (pembelajar) adalah guru. Kegiatan siswa dan kegiatan guru berlangsung dalam proses yang berssamaan untuk mencapai tujuan instruksional tertentu. Jadi dalam proses pembelajaran terjadi hubungan yang interaktif antara guru dengan siswa dalam ikatan tujuan instruksional. Karena pelaku dalam proses pembelajaran adalah guru dan siswa, maka keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari faktor guru dan siswa. Cruickshank menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa adalah teachers variables, context variables, process variables and product variables.[26]

Untuk menghasilkan sebuah proses pembelajaran yang baik, maka paling tidak harus terdapat empat tahapan[27], yaitu :

1. Tahap berbagi dan mengolah informasi, terdiri dari aktifitas pembelajaran yaitu kegiatan di kelas, laboratorium maupun aktivitas di perpustakaan.

2. Tahap internalisasi, termasuk di dalamnya adalah aktifitas dalam bentuk PR, tugas, paper, diskusi, tutorial, adalah bagian dari tahap internalisasi.

3. Mekanisme balikan, meliputi kuis, ulangan/ujian serta komentar dan survey adalah bagian dari proses balikan.

4. Evaluasi, merupakan aktifitas assesment yang berdasar pada test ataupun tanpa test termasuk assesment diri, dapat dilakukan secara peer review ataupun dengan survey terbatas.

Hal yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembelajaran adalah keberadaan materi dan bahan pembelajaran. Dalam sistem pendidikan Indonesia dewasa ini terdapat dualisme tentang materi pembelajaran yang harus disampaikan pada peserta didik pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP), berdasarkan regulasi yang juga berbeda. Untuk SD masih berpegang pada UU No 2 tahun 1989 sedangkan SMP berpedoman pada UU No. 20 tahun 2003.

Untuk memaksimalkan pemahaman anak terhadap setiap konten pada mata pelajaran yang dimaksud maka dalam proses pembelajaran diperlukan pemilihan bahan pelajaran (materi) secara ketat agar para pelajar dapat mempelajari sesuatu sampai tingkatan memahami makna yang dipelajari bagi kehidupannya. Phenix mengatakan bahwa terdapat empat dasar dalam memilih bahan pembelajaran dari setiap wilayah arti, yaitu: (1) bahan pelajaran harus diambil dari “disciplined of inquiry; (2) bahan pelajaran harus dipilih konsep-konsep utama suatu disiplin yang mewakili hakekat disiplin tersebut; (3) bahan pelajaran mengutamakan “method of inquiry”, dan (4) bahan pelajaran harus dapat mendorong peserta didik berpikir secara imajinatif.[28] Pemilahan bahan ajar didukung oleh pemilihan pendekatan dalam pembelajaran, agar pembelajaran yang dilakukan menjadi lebih bermakna bagi siswa dalam usaha untuk melakukan proses pembudayaan dan disesuaikan dengan pilar belajar yang ada.

UNESCO mengusulkan empat pilar belajar, yang meliputi “learning to know, learing to do, learning to be, and learning to live together”.[29] Menerapkan empat pilar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya.[30] Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, dengan materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target untuk ujian nasional. Ujian nasional akan mengurangi kreatifitas belajar sampai tingkatan “joy of discovery”.

Proses pembelajaran yang dilakukan logisnya disesuaikan dengan tujuan kurikuler yang ingin dicapai. Tujuan kurikuler inipun tidak dapat melangkah jauh dari tujuan pendidikan yang sebelumnya sudah di-breakdown menjadi indikator-indikator kompetensi yang pada prinsipnya harus dikuasai oleh siswa. Implikasi logis dari keterpautan ini adalah sistem pembelajaran yang dilakukan senantiasa harus dievaluasi untuk mengetahui tingkat kompetensi yang dicapai oleh siswa dan secara tidak langsung juga untuk memenuhi aspek-aspek di atas.

D. Sistem Evaluasi

1. Pengertian

Evaluasi adalah kegiatan mengukur dan menilai. Mengukur lebih besifat kuantitatif, sedangkan menilai lebih bersifat kualitatif. Secara umum kegiatan evaluasi diidentikkan dengan menilai, karena aktifitas mengukur sudah termasuk di dalamnya. Dan tak mungkin melakukan penilaian tanpa didahului oleh kegiatan pengukuran.[31] Pengukuran dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil tes terhadap standar yang ditetapkan. Perbandingan yang telah diperoleh kemudian dikualitatifkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Evaluasi umumnya dilakukan dalam dua bentuk yaitu evaluasi secara tertulis dan evaluasi secara lisan. Stufflebeam[32] mengatakan:

Evaluation is the process of delineating, obtaining, and providing descriptive and judgmental information about the worth and merit of some object’s goals, design, implementation, and impact in order to guide decision making, serve needs for accountability, and promote understanding of the involved phenomena.

Evaluasi mengandung pengertian sebagai sebuah proses penyediaan infomasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (the worth and merit) dari tujuan yang dicapai, desain, implementasi dan dampak untuk membantu membuat keputusan, membantu pertanggung jawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena. Jadi menurut rumusan tersebut, inti dari evaluasi adalah penyediaan informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Definisi ini juga berlaku untuk evaluasi yang dilakukan dalam ranah pendidikan.

Evaluasi dalam bidang pendidikan merupakan serangkaian proses penentuan apakah materi dan metode pembelajaran telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan.[33] Penentuan indikasi kesesuaian ini dapat dilakukan salah satunya dengan cara pemberian tes kepada pembelajar. Terlihat dalam pengertian tersebut bahwa acuan tes adalah tujuan pembelajaran. Di sisi lain evaluasi pendidikan juga diartikan sebagai: (1) proses/ kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan (2) usaha untuk memperoleh informasi berupa feed back bagi penyempurnaan pendidikan.[34]

Evaluasi dalam pendidikan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran dan dijadikan sebagai salah satu indikator apakah suatu pembelajaran telah berhasil atau tidak. Ahli lain berpendapat bahwa evaluasi pendidikan merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai.[35] Dalam batasan ini mengandung makna bahwa evaluasi pendidikan merupakan proses yang menentukan sejauh mana pendidikan dapat dicapai. Proses dimaksud meliputi tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu: (1) penentuan fokus yang akan dievaluasi (focusing the evaluation); (2) penyusunan desain evaluasi (designing the evaluation); (3) pengumpulan informasi (collecting information); (4) analisis dan interpretasi informasi (analyzing and interpreting); (5) pembuatan laporan (reporting information); (6) pengelolaan evaluasi (managing evaluation) dan (7) evaluasi untuk evaluasi (evaluating evaluation).

Pengertian di atas mengantar pada pemahaman tentang tugas dan kewajiban evaluator, bahwa dalam melakukan evaluasi, evaluator pada tahap awal harus menentukan fokus yang akan dievaluasi dan desain yang akan digunakan. Berarti harus ada kejelasan apa yang akan dievaluasi yang secara implisit menekankan adanya tujuan evaluasi, serta adanya perencanaan bagaimana melaksanakan evaluasi. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data, menganalisis dan membuat interpretasi terhadap data yang terkumpul serta membuat laporan. Selain itu, evaluator juga harus melakukan pengaturan terhadap evaluasi dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam melaksanakan evaluasi secara keseluruhan. Apabila pengertian pendidikan dituangkan dalam bentuk bagan, maka kurang lebih akan tampak seperti pada bagan di halaman berikutnya (Bagan tentang Evaluasi Pendidikan).

Dari bagan tersebut dapat diperhatikan bahwa dalam melakukan proses penilaian, dilakukan perbandingan antara informasi-informasi yang telah berhasil dikumpulkan (dihimpun) dengan kriteria tertentu, untuk kemudian diambil keputusan atau dirumuskan kebijaksanaan tertentu. Adapun kriteria atau tolok ukur yang dipegang tidak lain adalah tujuan yang sudah ditentukan terlebih dahulu sebelum kegiatan pendidikan itu dilaksanakan.

BAGAN TENTANG EVALUASI PENDIDIKAN

Jadi pada dasarnya evaluasi pendidikan itu mengandung pengertian sebagai seperangkat kegiatan atau suatu proses yang dilakukan untuk menentukan nilai dari sebaga sesuatu dalam dunia pendidikan, sehingga dapat diketahui mutu atau hasilnya. Dalam pengertian ini dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan adalah sesuatu yang dilaksanakan dengan maksud tertentu, proses merupakan sesatu yang dilakukan tersebut berlangsung dalam rangka memenuhi tujuan. Sedangkan dunia pendidikan dipahami sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan atau yang terjadi di lapangan pendidikan.

Secara sempit evaluasi pendidikan sering dikonotasikan dengan evaluasi hasil belajar (prestasi) peserta didik yang akhir-akhir ini disinyalir tidak dapat dilaksanakan dengan baik bila tidak didasarkan pada data kuantitatif.[36]

2. Fungsi dan Tujuan Evaluasi Pendidikan

Secara umum, evaluasi sebagai suatu tindakan atau proses setidaknya memiliki tiga fungsi yaitu (1) mengukur kemajuan; (2) menunjang penyusunan rencana dan (3) memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali.[37] Untuk mengukur kemajuan, evaluasi pendidikan hendaknya dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, sehingga dengan demikian dapat dipantau tahapan mana yang sudah dapat diselesaikan, tahapan mana yang berjalan dengan mulus dan tahapan mana yang mengalami kendala dalam pelaksanaanya.

Dengan evaluasi, terbuka kemungkinan bagi evaluator untuk mengukur seberapa jauh atau seberapa besar kemajuan atau perkembangan program yang dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Pengetahuan tentang hal tersebut akan membawa evaluator untuk menyusun perencanaan kembali (re-planning) guna memperbaiki program (tahapan) yang belum dapat berjalan dengan sempurna atau melakukan penyempurnaan terhadap tahapan yang sudah berjalan dengan baik agar lebih maksimal lagi.

Secara spesifik fungsi evaluasi pendidikan dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu: (1) segi psikologis; (2) segi didaktik dan (3) segi administratif.[38] Secara psikologis evaluasi pendidikan dapat dikritisi dari dua sisi yaitu pendidik dan peserta didik. Bagi pendidik evaluasi pendidikan memberikan kepastian atau ketetapan hati, tentang sejauh mana usaha yang dilakukannya membawa hasil sehingga secara psikologis memiliki pedoman atau pegangan untuk menentukan langkah apa saja yang perlu dilakukan selanjutnya. Misalnya dalam penentuan metode mengajar tertentu. Bagi peserta didik, evaluasi pendidikan secara psikologis memberikan pedoman untuk mengenal kapasitas dan status dirinya di tengah kelompok atau kelasnya, apakah mereka termasuk siswa berkemampuan tinggi, sedang atau rendah. Di samping itu siswa akan faham di kelompok mana mereka berada, apakah kelompok anak pandai, sedang atau kelompok bodoh. Dengan demikian, gambaran ini dapat memberikan motivasi bagi peserta didik untuk menentukan langkah dan arah selanjutnya berdasarkan keinginannya.

Dalam dimensi didaktik, evaluasi pendidikan (terlebih evaluasi belajar) bagi peserta didik dapat memberikan dorongan untuk memperbaiki, meningkatkan dan mempertahankan prestasinya. Biasanya dari hasil evaluasi belajar akan dapat dilihat prestasi (nilai) rendah, sedang atau jelek. Untuk pendidik hal ini memberikan pemahaman untuk menentukan langkah lain dalam proses pembelajaran yang akan dilakukan dengan melihat prestasi belajar siswanya. Di samping itu pendidik dapat menempuh langkah bijak dalam pembelajaran dengan mengetahui siswa mana yang layak mendapat pelajaran tambahan (pengayaan) dan siswa mana yang perlu mendapat pengajaran ulang (remedial teaching). Secara umum dimensi didaktik, hasil evaluasi bagi pendidik mencakup fungsi diagnostik, penempatan, selektif, bimbingan dan instruksional.[39]

Dalam sudut pandang administrasi, hasil pelaksanaan evaluasi pendidikan dapat memberikan gambaran kepada peserta didik tentang perkembangan yang dialaminya selama ini, sehingga dapat digunakan untuk melakukan self assissment. Sedangkan bagi tenaga pendidik dapat dipergunakan untuk melihat perkembangan peserta didiknya dan juga sekaligus dapat dijadikan sebagai laporan kepada wali murid (orangtua siswa) terkait dengan keberadaan peserta didik di sekolah. Disamping itu hasil evaluasi dapat dijadikan sebagai data untuk menggambarkan keadaan peserta didik secara menyeluruh mengenai hasil yang dicapai dalam proses pembelajaran. (Perhatikan bagan di halaman berikutnya).

Fungsi evaluasi pendidikan di atas tidak terlepas dari maksud penyelenggaraan evaluasi. Adapun tujuan penyelenggaraan evaluasi pendidikan dapat dipilah menjadi tujuan secara makro (umum) dan mikro (khusus). Secara umum evaluasi pendidikan dilakukan dengan maksud:

a. untuk menghimpun keterangan yang dapat dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau kemajuan yang dicapai peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Artinya, tujuan evaluasi mendapatkan data pembuktian untuk dijadikan sebagai petunjuk sampai di mana tingkat kemampuan dan keberhasilan siswa dalam pencapaian tujuan kurikuler, setelah proses pembelajaran.

b. mengetahui tingkat efektivitas metode pengajaran yang telah dipergunakan dalam proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan evaluasi pendidikan adalah mengukur dan menilai sampai sejauh mana efektivitas mengajar dan metode-metode mengajar yang telah diterapkan, serta kegiatan belajar yang dilaksanakan oleh pendidik.[40]

BAGAN TENTANG FUNGSI EVALUASI PENDIDIKAN

Sedangkan tujuan evaluasi pendidikan secara lebih khusus yaitu:

a. merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan. Tanpa ada evaluasi disinyalir kegairahan dan rangsangan peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan diri masing-masing menjadi minim.

b. mencari dan menemukan faktor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan peserta didik dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan solusi atau cara-cara perbaikannya.[41]

3. Jenis dan Sasaran Evaluasi Pendidikan

Klasifikasi evaluasi dalam pendidikan sangat beragam karena adanya sudut pandang yang juga berbeda. Berikut disajikan beberapa jenis evaluasi pendidikan dari beberapa sumber.

a. Berdasarkan tujuan: (1) Evaluasi diagnostik, untuk menelaah kelemahan siswa beserta penyebabnya; (2) Evaluasi selektif, untuk memilih siswa yang paling tepat sesuai dengan kriteria program kegiatan tertentu; (3) Evaluasi penempatan, untuk menempatkan siswa dalam program pendidikan tertentu sesuai karakteristik siswa; (4) Evaluasi formatif, untuk memperbaiki dan meningkatan PBM dan (5) Evaluasi sumatif, untuk menentukan hasil dan kemajuan belajar siswa.

b. Berdasarkan sasaran: (1) Evaluasi konteks, mengukur konteks program mengenai rasional tujuan, latar belakang, dan kebutuhan dalam perencanaan; (2) Evaluasi input, untuk mengetahui input sumber daya maupun strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan; (3) Evaluasi proses, untuk melihat proses pelaksanaan, mengenai kalancaran proses, kesesuaian dengan rencana, faktor pendukung dan hambatan yang muncul dalam proses pelaksanaan, dan sejenisnya; (4) Evaluasi hasil atau produk, untuk melihat hasil program yang dicapai sebagai dasar menentukan keputusan akhir, diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan atau dihentikan dan (5) Evaluasi outcome atau lulusan, untuk melihat hasil belajar siswa lebih lanjut, yakni evaluasi lulusan setelah terjun ke masyarakat.

c. Berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran: (1) Evaluasi program pembelajaran, mencakup evaluasi terhadap tujuan, isi program pembelajaran, strategi belajar mengajar, aspek program pembelajaran yang lain; (2) Evaluasi proses pembelajaran, mencakup kesesuaian proses pembelajaran dengan garis besar program pembelajaran yang di tetapkan, kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran dan (3) Evaluasi hasil pembelajaran, mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan pembelajaran yang ditetapkan, baik umum maupun khusus, ditinjau dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

d. Berdasarkan objek dan subjek evaluasi: (1) Evaluasi input, Evaluasi terhadap siswa mencakup kemampuan kepribadian, sikap dan keyakinan; (2) Evaluasi transformasi, Evaluasi terhadap unsur transformasi proses pembelajaran antara lain materi, media dan metode; (3) Evaluasi output, Evaluasi terhadap lulusan mengacu pada ketercapaian hasil pembelajaran; (4) Evaluasi internal, dilakukan oleh orang dalam sekolah sebagai evaluator, misalnya guru (subjek) dan (5) Evaluasi eksternal, dilakukan oleh orang luar sekolah sebagai evaluator, misalnya masyarakat (subjek).

Dari berbagai macam jenis evaluasi pendidikan tersebut dapat ditentukan bahwa sasaran evaluasi pendidikan secara umum sesungguhnya adalah penguasaan kompetensi. Kompetensi diartikan sebagai (1) seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu; (2) kemampuan yang dapat dilakukan oleh peserta didik mencakup pengetahuan, keterampilan dan perilaku; (3) integrasi domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang direfleksikan dalam perilaku.[42]

Mengacu pada pengertian kompetensi tersebut, maka hasil belajar peserta didik umumnya mencakup ranah kognitif, psikomotorik dan afektif[43] yang harus dikuasai oleh setiap peserta didik setelah pembelajaran berlangsung sesuai dengan rencana pembelajaran yang disusun oleh guru/dosen.

4. Evaluasi dalam Pembelajaran

Scriven menyatakan bahwa harus ada hubungan yang erat antara : 1) tujuan kurikulum dengan bahan pelajaran, 2) bahan pelajaran dengan evaluasi, dan 3) tujuan kurikulum dengan evaluasi.[44] Jadi evaluasi harus merujuk kepada kurikulum dan bahan pelajaran. Hubungan evaluasi terhadap kurikulum dan bahan pelajaran adalah hubungan yang saling kontrol. Kalau materi pelajaran sudah relevan dengan tujuan pembelajaran yang tercantum dalam kurikulum, maka evaluasi yang berhubungan dengan materi akan secara otomatis berhubungan dengan kurikulum. Namun jika materi pelajaran tidak relevan dengan kurikulum, maka tes yang dibuat berdasarkan materi tidak akan menyokong tujuan kurikulum. Agaknya itulah yang menyebabkan Scriven menegaskan bahwa perlunya ada hubungan antara tiga komponen itu.

Berbeda dengan Scraven, Viviane[45] lebih menekankan bahwa evaluasi itu adalah proses pengecekan apakah materi dan metode telah sesuai dengan tujuan pembelajaran. Fokusnya tertuju kepada tujuan yang ada dalam kurikulum yang merupakan pengejawantahan dari tujuan pendidikan secara global. Materi dan metode merupakan sarana untuk pencapaian tujuan. Pemikiran mereka ini bisa diformulasikan kedalam bentuk lain bahwa pencarian, pembahasan, dan perumusan materi adalah untuk menjawab persoalan dalam evaluasi yang mengacu pada tujuan pembelajaran. Posisi evaluasi dalam pembelajaran dapat digambarkan secara jelas melalui skema berikut:

Dari skema terlihat bahwa evaluasi tetap mengacu kepada rencana awal (tahap orientasi). Tidak dibuat berdasarkan proses perkembangan pembelajaran yang berlangsung, tapi berdasarkan perencanaan awal. Proses pembelajaran (tahap aplikasi) hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan. Mereka yang gagal harus mengikuti proses kembali, sedangkan yang sudah berhasil, dapat mengikuti tahap berikutnya. Di sinilah fungsi diagnostik evaluasi memegang peranan penting yaitu untuk (1) menemukan kesulitan pembelajar dalam mengikuti pelajaran, yang selanjutnya akan diberikan perlakuan yang tepat, sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapainya dan (2) evaluasi berlangsung selama proses pembelajaran.[46]

Menyikapi hal tersebut maka seharusnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: pertama, untuk menemukan kesulitan pembelajar dalam mencapai tujuan pembelajaran, seorang pengajar dapat merancang sebuah tes yang benar-benar valid. Valid itu maksudnya adalah mengukur apa yang hendak diukur.[47] Tentu saja melalui proses membandingkan kompetensi pembelajar dengan kompetensi harapan yang telah di standarkan. Tetapkan tujuan pembelajaran. Jadi dalam hal ini cukup dilakukan dengan (1) menentukan kompetensi yang harus dimiliki dengan mencantumkan standar minimal; (2) mentukan jenis tesnya, lisan atau tertulis; (3) membandingkan hasil tes dengan standar; (4) menemukan titik lemah pembelajar dan (5) membuat kesimpulan.

Kedua, evaluasi dilaksanakan sepanjang proses pembelajaran dengan bentuk tidak sekaku dan seformal tes yang ada. Pengajar punya kebebasan menentukan bentuk evaluasinya. Yang penting di sini adalah perencanaan dan pengorganisasiannya. Jadi pembelajaran itu tidak hanya menganalisis, diskusi, dan presentasi selama satu semester, tapi ada evaluasi yang benar-benar mengiring pembelajar agar dia berhasil dalam mencapai tujuan.

Dalam perspektif manajemen mutu pendidikan, evaluasi memegang peranan penting sehingga tiada satu usahapun yang dapat dilakukan dengan baik kecuali memperbaiki pelaksanaan evaluasi itu sendiri. Hasil evaluasi dapat digunakan sebagai strategi peningkatan mutu pendidikan sehingga sistem evaluasi peserta didik di sekolah perlu dilaksanakan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Argumentasi ini didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 pasal 58 yang menyatakan pelaksanaan kegiatan evaluasi, yaitu: (1) Evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik, untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan dan (2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan dari program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala dan menyeluruh, transparan dan sistematis, untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Selanjutnya dalam peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 dinyatakan bahwa salah satu pelaksana untuk melakukan penilaian hasil belajar peserta didik adalah pendidik itu sendiri.

E. Telaah Kritis Hubungan Fungsional TP, SK, PBM dan SE.

Sistem pendidikan Indonesia yang berlangsung selama ini disinyalir tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan, bahkan melahirkan pemikiran ekstrim semakin terpuruk. Kompleksnya permasalahan dijadikan indikator untuk mengukur keberhasilan pendidikan terutama jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional. Dari masalah sarana prasarana, proses pembelajaran, kurikulum, guru, siswa sampai pada masalah sistem evaluasi. Kondisi ini membuat masyarakat beranggapan bahwa rumusan Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas untuk zaman sekarang dianggap sudah kurang memadai. Penekanan filosofinya cenderung hanya untuk mengajar, melatih dan melengkapi peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan disertai sistem penilaian yang baku dan kaku. Proses pendidikan tahap tertentu dianggap selesai dengan hasil ujian dan selesainya pemberian materi.

Kesan yang timbul selama ini adalah tujuan pendidikan nasional dalam RUU Sisdiknas yang berlaku kurang memiliki visi futuristik ke depan dan hanya berkutat pada kebutuhan dan tuntutan temporal zaman sekarang.[48] Solusi atas masalah temporal yang tersirat tampak ironis karena lemahnya persepsi dan filosofi. Sebagai contoh, masalah “dekadensi moral bangsa” yang dijawab dengan “keimanan dan ketakwaan”. Jawaban konseptual yang logis dan to the point kiranya akan mengarah kepada pendidikan budi pekerti (moral/etika), kemandirian, kesadaran, dan kecerdasan. Akibatnya, masing-masing sekolah termotivasi untuk tidak bertahan dalam standar nilai rendah, namun mempunyai niatan untuk meningkatkan standar nilai lebih baik dalam setiap tahunnya.

Pada dasarnya beban dan fungsi tujuan pendidikan nasional, tidak hanya mengarahkan anak didik pada faktor pengetahuan, namun dituntut terpenuhinya suatu usaha untuk menggali potensi yang ada pada diri anak, dalam kaitannya mempersiapkan siswa didik menjadi anak yang cerdas, terampil, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang baik, serta mempunyai rasa tanggungjawab terhadap masyarakat dan negara.

Dengan demikian, pendidikan nasional diharapkan mampu mewujudkan manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Sebagai perwujudan tujuan pendidikan nasional, diperlukan suatu pemantapan kurikulum, seperti halnya kurikulum yang dikembangkan saat ini, yakni kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang akan membawa siswa menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional juga perlu ditunjang dengan sistem kurikulum dan pelayanan administrasi sekolah yang teratur, terarah, terencana dan berkesinambungan. Dengan pelayanan administrasi yang baik, maka akan menunjang keberhasilan pelaksanaan proses belajar mengajar (PBM), sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestasi siswa seperti yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Untuk melihat tingkat ketercapaian keberhasilan tersebut maka dilakukan evaluasi.

Tyler menggambarkan pendidikan sebagai suatu proses yang di dalamnya terdapat tiga hal yang berbeda, yaitu tujuan pendidikan, pengalaman belajar dan evaluasi hasil belajar.[49] Hubungan ketiga hal tersebut kemudian digambarkan oleh Lewy[50] seperti pada gambar di bawah.

BAGAN HUBUNGAN TIGA DIMENSI PROSES PENDIDIKAN

Dalam bagan di atas, kegiatan evaluasi dinyatakan oleh garis (c) atau dengan kata lain evaluasi di sini dimaksudkan sebagai kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan pendidikan teah dapat dicapai siswa dalam bentuk hasil belajar yang mereka perlihatkan pada akhir program pendidikan. Ini berarti, bahwa evaluasi pada dasarnya dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai efektivitas kurikulum atau program pengajaran yang bersangkutan dalam mencapai tujuan tujuannya. Mengingat tujuan pendidikan itu mencerminkan perubahan perilaku yang diinginkan dari anak didik, maka yang penting dalam proses evaluasi adalah memeriksa sejauh mana perubahan perilaku yang diinginkan itu terjadi. Hasil evaluasi yang diperoleh berguna bagi kepentingan penyempurnaan program, bimbingan siswa dan pemberian informasi kepada pihak di luar pendidikan mengenai hasil yang telah dicapai.

Umumnya setiap sistem evaluasi yang diterapkan akan menentukan keberhasilan mencapai tujuan pendidikan. Namun, evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar yang hanya dilakukan pada akhir jenjang satuan pendidikan seperti UAN tidak dapat diharapkan berdampak terhadap efektifitas tercapainya tujuan pendidikan nasional. Bloom[51] menyatakan bahwa tingkah laku belajar peserta didik akan dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang akan diujikan. Agar peserta didik sejak memasuki suatu jenjang pendidikan secara terus menerus dan intensif melakukan proses pembelajaran yang bermakna bagi tercapainya berbagai tujuan pendidikan, perlu dikembangkan dan dilaksanakan evaluasi secara komprehensif, terus menerus dan obyektif. Pada hakekatnya merupakan bagian dari kurikulum itu sendiri, yang berfungsi sebagai “reinforcement strategy” atau wujud dari “hidden curriculum”. Masalah evaluasi semacam inilah yang perlu dilaksanakan dalam suatu pendidikan yang mendudukkan “classroom as social system“ dan sekolah sebagai pusat sosialisasi/pembudayaan berbagai kemampuan, nilai dan sikap.

Standar nilai kelulusan siswa sebenarnya bukan merupakan satu-satunya alat ukur keberhasilan PBM, karena standar nilai yang tercantum hanya sebatas penilaian di bidang pengetahuan.[52] Yang diharapkan oleh negara adalah mempersiapkan siswa menjadi manusia Indonesia seutuhnya, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Jadi, nilai bukan merupakan satu-satunya tujuan, tetapi merupakan sarana untuk melihat berhasil atau tidaknya suatu tujuan.

Untuk kepentingan pengelolaan pendidikan secara nasional disadari perlunya secara periodik diadakan evaluasi hasil belajar tingkat nasional atau lebih tepat disebut “Nasional Assesment”. Namun, dengan fungsi hanya sebagai bagian dari manajemen pendidikan secara nasional untuk memperoleh gambaran tentang peta mutu pendidikan nasional sebagai alat umpan balik guna mendiagnosis faktor-faktor penyebab dari keberhasilan dan ketidakberhasilan suatu sekolah atau daerah dalam membantu peserta didik dalam mencapai tingkatan hasil belajar yang diharapkan. Kegiatan semacam ini sangat penting dan bermakna bila dimanfaatkan untuk melakukan tindak lanjut berupa upaya perbaikan, pembaharuan, dan berbagai kegiatan untuk meratakan mutu pendidikan nasional sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Dipahami bersama bahwa pendidikan itu sendiri sebenarnya bukan hanya merupakan tanggungjawab sekolah semata atau pemerintah, tetapi lebih dari itu, merupakan tanggung jawab kita semua, termasuk orang tua siswa dan secara luas masyarakat Indonesia pada umumnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya evaluasi pendidikan dilaksanakan untuk meneliti hasil dan proses belajar peserta didik, untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang melekat pada proses belajar tersebut. Jadi, evaluasi tidak dapat dipisahkan dari proses belajar mengajar yang dilakukan dan didasarkan pada sistem kurikulum yang berlaku pada saat itu untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.